Thursday, January 14, 2016

Mengenal potensi entrepreneur dalam diri setiap orang

Kompetensi Dasar 3

Mengenali Potensi Entrepreneurship dalam diri setiap orang dan mengembangkannya.

Setiap orang adalah entrepreneur
Frasa potensi dalam sub judul di atas dipakai dalam pengertian ada tidaknya jiwa entrepreneur dalam diri setiap orang Kristen, khususnya anggota jemaat. Bila tidak ada potensi atau kemampuan entrepreneur dalam diri orang Kristen maka kepemimpinan entrepreneurship Kristen yang akan dibahas tidak akan berguna, akan tetapi  bila ada potensi entrepreneur dalam diri setiap orang Kristen maka sangat relevan untuk meneliti tentang kepemimpinan entrepreneur Kristen.
Maksud yang terkandung dalam alinea di atas menegaskan bahwa pembahasan tentang entrepreneur menjadi demikian relevan. Untuk itu perlu landasan argumentasi untuk membuktikan bahwa ada potensi entrepreneur dalam diri setiap orang Kristen, khususnya warga jemaat. Dasar argumentasi bahwa setiap orang Kristen atau anggota jemaat memiliki potensi entrepreneur didasarkan pada dasar teologis dan teoritis yang dikemukakan sebagai berikut. 
Berdasarkan hasil studi etimologis dan berbagai definisi konseptual dari beberapa ahli tentang entrepreneur yang intinya menekankan tentang ”inovasi” dan ”kreativitas” sebagai ciri seorang entrepreneur maka dipastikan bahwa semua orang memiliki kemampuan entrepreneur. Jauh sebelum penggunaan kata entrepreneur yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata ”wirausaha”, Alkitab telah menegaskan bahwa Allah adalah sang entrepreneur yang memberi kemampuan entrepreneur dalam diri manusia yakni menciptakan manusia (Adam dan Hawa) segambar dan serupa dengan Allah (bnd. Kej. 1: 28).  Allah adalah sang entrepreneur utama dan pertama. Dikatakan demikian karena Allah menciptakan langit dan bumi dari yang tiada menjadi ada. Ia adalah pencipta, Inovator dan kreator. Oleh karena Allah adalah sang entrepreneur utama dan pertama maka Ia menciptakan manusia dengan kemampuan entrepreneur sebagaimana yang dapat dipahami dalam kata ”segambar” dan ”serupa”. Menurut William W. Menzies dan Stanley M. Horton, kata gambar (Ibr. tselem)  digunakan untuk patung dan model kerja. Jadi menurut kedua ahli ini, penggunaan kata gambar secara tidak langsung menyatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat pencerminan sesuatu yang berkaitan dengan sifat dasar Allah. Sedangkan kata ”rupa” (Ibr. demuth) digunakan untuk pola, bentuk atau ukuran yang adalah sesuatu seperti Allah pada diri mereka. Kedua teolog di atas melanjutkan komentarnya dengan menyatakan bahwa Adam dan Hawa dicipta dalam kesempurnaan tetapi tetap ada perbedaan antara pencipta dan yang dicipta, manusia makhluk terbatas dan bergantung pada Allah. Gambar Allah dalam diri manusia terdiri atas gambar alamiah dan moral, dan bukan dalam arti segambar dalam pengertian fisik.[1]
Pendapat terakhir di atas juga didukung oleh teolog Paul Enns, menurutnya, gambar dan rupa merupakan istilah yang tidak menunjuk secara fisik karena Allah adalah Roh (bnd. Yoh. 4:24), menurut Enns, kata gambar dipakai dalam pengertian keserupaan dalam spiritual, natural dan moral. Dalam keserupaan manusia (Adam dan Hawa)  secara natural, menegaskan bahwa manusia memiliki akal budi, emosi, dan kehendak untuk mengetahui dan berkomunikasi dengan Allah.[2] Paul Enns mengutip pandangan E. Brunner yang menyatakan bahwa manusia adalah yang sama sekali berbeda dengn binatang. Perbedaan itu terletak pada rasio, kebebasan dan daya cipta manusia.[3] Oleh kemampuan rasio, kebebasan dan daya cipta yang ada pada manusia memampukan manusia untuk melakukan apa yang disebut dengan entrepreneur (kemampuan inovasi, kreasi dan kemampuan menangung resiko/berani menghadapi resiko sebagai ciri entrepreneur).
Seorang teolog Baptis, Millard J. Erickson, menyimpulkan pengertian manusia sebagai gambar dan rupa Allah dalam enam (6), salah satunya yang cocok dengan entreprenur adalah kesimpulannya tentang ”gambar Allah”  sebagai  kekuatan-kekuatan kepribadian yang menjadikan manusia, seperti halnya Allah, mampu berinteraksi dengan pribadi yang lain, mampu berpikir, dan merenung, serta berkehendak dengan bebas.” Gambar Allah adalah sejumlah kemampuan yang dibutuhkan untuk mewujudkan hubungan dan fungsi tersebut. Kemampuan-kemampuan tersebut adalah kemampuan-kemampuan Allah yang, ketika tercermin di dalam manusia, memungkinkan pemujaan, interaksi personal, serta pekerjaan dapat terlaksana”.[4] Kemampuan ini merupakan akibat atau penerapan dari gambar Allah. [5]
Pakar teolog yang lain seperti  James Montgomery Boice menyatakan, salah satu arti diciptakan menurut gambar Allah adalah Adam dan Hawa (Laki-laki dan perempuan) memiliki atribut-atribut kepribadian yang Allah sendiri miliki, tetapi yang binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan materi tidak miliki. Untuk memiliki kepribadian, siapapun harus memiliki pengetahuan, perasaan (termasuk perasaan-perasaan religius) dan suatu kehendak. Allah memiliki kepribadian, demikianlah juga manusia.[6]
Berdasarkan kemampuan ini, Allah menugaskan manusia pertam, Adam dan Hawa untuk ”mengusahakan” dan ”memelihara” taman Eden (Kej. 2:15). Berdasarkan kedua teks ini dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahluk ”kreatif” dan ”inovatif”.  Bila dikatakan bahwa Adam dan Hawa adalah mahluk inovatif dan kreatif maka manusia zaman kini, termasuk anggota jemaat dari denominasi gereja manapun adalah bagian dari keturunan dari Adam dan Hawa yang juga memiliki potensi entrepreneurship.
            Pemaparan di atas tidak hanya sebatas Adam dan Hawa tetapi generasi Adam dan Hawa yaitu manusia dari segala suku bangsa juga adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena ciptaan Tuhan maka manusia masa kini dan masa yang akan datang adalah makluk yang memiliki kemampuan entrepreneur. Segambar dan serupa ada pada setiap manusia yang sejak kejatuhan tidak hilang tetapi dipengaruhi dosa sehingga segala yang baik dalam diri manusia diarahkan pada kecenderungan yang jahat. Itulah sebabnya gambar dan rupa Allah dipulihkan dalam pengorbanan Kristus.
Kemampuan entrepreneur sebagaimana yang ditinjau secara teologis dalam paparan di atas searah dengan teori umum entrepreneur yang dikemukakan oleh Hendro, Menurut Hendro,
semua orang bisa menjadi entrepreneur dan menemukan jenis entrepreneurship yang sesuai dengan minat dan passionnya sendiri. Tidak ada orang yang tidk bisa sukses menjadi entrepreneur yang kaya di usia muda, namun yang perlu diencanakan, dikuasia dan dipahami adalah bagaimana cara membesarkn bisnis serta teguh pada pendirian bahwa suatu saat pasti sukses. Ingat, jangan mundur bila anda telah memutuskan karena kegagalan itu muncul di saat anda ragu memutuskan. [7]
Point penting yang dipertegas dalam pendapat Hendro, penulis buku Dasar-dasar Kewirausahaan adalah penekakannya pada “semua orang bisa menjadi entrepreneur” dan jenis-jenis entrepreneur yang sesuai dengan minat dan passionnya sendiri. Ini berarti anggota jemaat dapat dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kepemimpinan entrepreneur yang mampu mengarahkan jemaat sehingga memberdayakan entrepreneur yang sesuai dengan kesukaan anggota jemaat.
            Jadi, potensi setia orang untuk berpikir kreatif sebenarnya sudah ada. Dikatakan demikian karena setiap orang adalah makluk ciptaan Tuhan yang segambar dan serupa, memiliki potensi entrepreneur (berpikir kreatif). Berpikir kreatif adalah proses berpikir yang menghasilkan kreativitas. Kreativitas tidak selalu menghasilkan produk konkrit, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan, diantaranya berupa ide. Mustahil bila seseorang tidak mempunyai ide. Ide tersebut menghantar setiap orang pada kreativitas. Kreativitas sangat penting untuk menyiasati segala keterbatasan yang dihadapi setiap orang Kristen, kreativitas tersebut menolong setiap orang untuk memecahkan masalah pada berbagai aspek kehidupan, sekaligus menghasilkan peluang atau karya baru untuk memudahkan kehidupan manusia. Sebenarnya, sejak dilahirkan setiap orang memiliki daya kreativitas yang cukup tinggi dalam DNA-nya. Tetapi masalah yang terjadi yakni tekanan hidup seiring proses pertambahan usia ternyata menekan daya kreativitas tersebut. Stres akibat mengalami tantangan kehidupan sehari-hari maupun dilema, membuat daya kreativitas seseorang berangsur kering. Namun daya kreativitas itu ternyata juga dapat diasah dan kembali ditingkatkan melalui kemampuan menciptakan tujuan yang jelas, agar dapat menghasilkan ide-ide yang jelas juga. Setelah itu, fokus dalam melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tersebut.





[1]William W. Menzies dan Stanley M. Horton , Doktrin Alkitab (Malang : Gandum Mas, 2003), hlm. 84-85
[2] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology Buku Pengantar Teologi (Malang : Literatur SAAT, 2008), hlm. 44-45
[3] Theol. Diester Becker, Pedoman Dogmatika Suatu Kopendium Singkat (Jakarta : BPK, 2001), hlm. 88
[4] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume II (Malang Gandum Mas, 2003), hlm.93
[5] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume II (Malang Gandum Mas, 2003), hlm.93
[6] James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen (Surabaya : Momentum, 2011), hlm. 162-163
[7] Hendro, Dasar-dasar Kewirausahaan Panduan bagi Mahasiswa untuk Mengenal, Memahami, dan Memasuki Dunia Bisnis, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm.537

0 comments:

Post a Comment